Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

I made this widget at MyFlashFetish.com.

Sabtu, Maret 28, 2009

Pudarnya Pesona Cleopatra

A. Sinopsis Novel

Tiba-tiba saja ibu menyuruh ‘aku’ untuk menuruti perintahnya, yaitu menikah dengan wanita pilihan beliau. ‘Aku’ tak kuasa untuk menolak, karena bagaimana pun ibu adalah segalanya baginya. Wanita yang beliau pilih konon telah dijodohkan dengan ‘aku’ sejak mereka masih dalam kandungan. Dulu ibu dan sahabatnya sewaktu sama-sama nyantri pernah berjanji, apabila dikaruniai anak yang berlainan jenis akan dinikahkan. Wanita itu bernama Raihana.

Sebelum pernikahan, ‘aku’ mulai mencari cara untuk menumbuhkan rasa cinta pada Raihana. Wajahnya memang cantik, apalagi Raihanna adalah seorang sarjana dan hafal Al-Quran pula. Namun sungguh ‘aku’ tak kunjung bisa mencintainya karena ‘aku’ terlanjur memimpikan kecantikan wanita Mesir.

Akibat terlalu mengidam-idamkan wanita Mesir dan berharap dapat meminang wanita Mesir, hingga ‘aku’ dan Raihana menikah pun, ‘aku’ masih tak bisa menumbuhkan rasa cintanya. Hari-hari dilaluinya dengan hampa. ‘Aku’ tak memedulikan Raihana, acuh tak acuh, bahkan lama-lama kelamaan ‘aku’ lebih sering tidur di ruang tamu atau di ruang kerja. Akan tetapi Raihana tak pernah menunjukkan sikap kesal atau marah. Ia tampak sangat sabar bahkan selalu setia membantu dan merawat, terlebih apabila ‘aku’ sakit.

Lama kelamaan, ‘aku’ mengetahui bahwa Raihana tak pernah menceritakan apa yang ia alami kepada orang lain termasuk pada orangtuanya. Saat kita menghadiri acara keluarga, betapa sanak keluarga sangat mengelu-elukan mereka bahkan menobatkan mereka sebagai pasangan ideal. ‘Aku’ melihat Raihana begitu menjaga wibawaku sebagai suami di depan keluarga. Oleh karena itu, ‘aku’ harus bisa menjaga perasaannya. Walaupun hanya sekedar kepura-puraan.

Kepura-puraan ‘aku’ menjaga kemuliaannya akhirnya membuahkan hasil. Raihana akhirnya hamil. Keluarga pun sungguh bahagia. Namun beban mental ‘aku’ bertambah berat, rasa cintanya kepada Raihana tak kunjung tiba. ‘Aku’ khawatir ketidakcintaan itu akan ia rasakan pada bayinya, anak yang di kandung Raihana. Hingga kandungan Raihana mencapai usia enam bulan, ia pamit untuk dapat tinggal dengan orangtuanya. ‘Aku’ pun mengizinkannya. Karena alasan mengajar, ‘aku’ tak ikut tinggal dengan Raihana. ‘Aku’ merasa semakin bebas. Tak sedikit pun merasa kesepian atau rindu pada Raihana.

Suatu waktu ‘aku’ diutus untuk mengikuti pelatihan peningkatan mutu dosen di Puncak, Jawa Barat. ‘Aku’ pun pergi untuk beberapa minggu. Meninggalkan Raihana yang sedang hamil. Disana ‘aku’ berbincang-bincang dengan Pak Qalyubi, salah seorang dosen Bahasa Arab dari Medan. Ia pun menceritakan kisah kelamnya menikahi wanita Mesir yang pada awalnya ia hanya mendewakan kecantikannya.

Sehabis mendengarkan ceritanya, entah kenapa ‘aku’ merasa rindu pada Raihana. ‘Aku’ baru menyadari bahwa mendewakan kecantikan itu akan sia-sia. ‘Aku’ sadar telah mengacuhkan Raihana selama ini. ‘Aku’ pun ingin segera pulang dan mencurahkan cintaknya pada Raihana.

Sesampainya disana, mertua yang membukakan pintu. ‘Aku’ langsung menanyakan Raihana. Namun beliau hanya terdiam dan lama-lama tangisnya pecah. Ternyata Raihana telah tiada. ‘Aku’ hanya bisa pasrah, dan menjerit-jerit meneriakkan nama Raihana di depan pusaranya yang masih basah.


B. Unsur Intrinsik

1. Tema

Tema diartikan sebagai pokok pikiran atau dasar cerita yang dipercakapkan dan dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak dan sebagainya. Sependapat dengan pengertian tersebut, berdasarkan beberapa contoh, Stanton (dalam Sofia, 2003) menarik kesimpulan bahwa tema adalah makna cerita yang secara khusus didasarkan pada sebagian besar unsur-unsurnya dengan cara yang paling sederhana.

Novel ini bertemakan cinta karena memperbicarakan masalah cinta. Namun cinta yang digambarkankan adalah cinta dalam cerita yang berbeda. Novel ini bercerita mengenai seorang lelaki yang hendak menumbuhkan cinta kepada istrinya sendiri. Kebutaan dan obsesinya terhadap pesona gadis titisan Cleopatra yang terlalu jauh menyengsarakan dirinya sendiri.

2. Alur / Plot

Stanton mendefinisikan plot sebagai keseluruhan sekuen peristiwa-peristiwa. Ia membatasi istilah ini pada peristiwa-peristiwa yang dihubungkan secara kausal, yaitu peristiwa-peristiwa yang secara langsung merupakan sebab atau akibat dari peristiwa-peritiwa lain, dan jika dihilangkan akan merusak.

Ada beberapa tahapan plot, yaitu :

  • Perkenalan

  • Pemunculan Konflik

  • Konflik

  • Klimaks

  • Penyelesaian konflik (antiklimaks)

Novel ini beralur progressif (maju) karena menceritakan secara runtut seluruh rangkaian cerita. Perkenalan muncul pada saat tokoh utama pada novel ini, yaitu ‘aku’ hendak dinikahkan dengan wanita pilihan ibunya. Kemudian, konflik mulai muncul saat ‘aku’ menikah dengan Raihana, wanita pilihan ibunya. Namun ‘aku’ sama sekali tidak menyukainya.Hal tersebut terlihat ndari narasi berikut:

Kulihat Raihana tersenyum manis, tapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta-ronta. Aku benar-benar merana. satu-satunya harapanku hanyalah berkah dari Tuhan atas baktiku pada ibu yang amat kucintai (Hal. 5).

Kemudian semakin terjadi konflik batin yang dialami tokoh-tokoh pada novel ini, yaitu ‘aku’ dan Raihana. Semakin lama tinggal bersama istri yang tidak dicintainya, ‘aku’ pun semakin bergejolak di dalam hatinya.

Sikapku pada Raihana mulai terasa lain. Aku merasaknnya tapi aku tiada bisa berbuat apa-apa. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang kerja atau ruang tamu (Hal. 7).

Begitu pula yang dirasakan Raihana, tokoh utama lainnya. Hanya saja melalui penggambaran yang berbeda. Didasari oleh unsur budayanya, yaitu Jawa yang biasanya lembut dan kemayu. Ini terlihat dari dialog berikut, “Kenapa Mas memanggilku mbak? Aku kan istri Mas. Apakah Mas tidak mencintaiku?” tanyanya dengan gurat sedih tampak di wajahnya.

Wallahu’alam!” jawabku sekenanya.

Dan dengan mata berkaca-kaca Raihana diam, menunduk, tak lama kemudian ia menangis terisak-isak sambil memeluk kedua kakiku (Hal. 9).

Konflik pun semakin mencapai klimaksya. Tanpa terasa, begitu lama dia berusaha menumbuhkan rasa cintanya hingga akhirnya ‘aku’ menyadari bahwa perilakunya sungguh menyengsarakan istrinya. Diawali dengan cerita dari seorang dosen bahasa Arab dari Medan, Pak Qalyubi, yang menceritakan perjalanan hidupnya. Bahwa Ia telah salah menikahi seorang wanita Mesir, yang walaupun parasnya sangat indah bagaikan titisan Cleopatra tetapi perilakunya jauh dari istri yang baik. Mendengar cerita Pak Qalyubi ’aku’ pun sadar. Kemudian ia pun berniat menemui istrinya yang sedang hamil di rumah mertuanya. Hal itu menunjukkan sudah adanya tanda-tanda penyelesaian konflik. Dengan demikian dapat diketahui akhir (ending) dari kisah dari novel ini, yaitu sad ending.

Mendengar cerita Pak Qalyubi saya terisak-isak. Perjalanan hidup Pak Qalyubi menyadarkan diriku. Aku teringat raihana. Perlahan wajahnya terbayang di mata. Sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan padanya menyelinap dalam hati (Hal. 38-39).

Ibu mertuaku mengajakku ke sebuah gundukan tanah masih baru di kuburan yang letaknya di pinggir desa. Di atas gundukan itu ada dua batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis di sana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu, dan penyesalan yang luar biasa. Aku menangis tersedu-sedu, memanggil-manggil nama Raihana seperti orang gila. Sukmaku menjerit-jerit, mengiba-iba. Aku ingin Raihana hidup kembali. Hatiku perih tiada terkira. (Hal. 45)

3. Latar

Menurut Stanton, latar cerita adalah lingkungan peristiwa yaitu dunia cerita tempat terjadinya peristiwa. Biasanya latar dihadirkan dalam bentuk deskripsi. Kadang-kadang latar secara langsung memengaruhi tokoh dan kadang-kadang memperjelas tema. Dalam banyak cerita, latar dapat menggugah nada emosi di sekeliling tokoh.

Latar pada novel ini dapat dibagi menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Latar waktu pada novel ini terjadi siang, sore, malam, dini hari, dan saat hari hujan.

Mas, bangun Mas. Sudah jam setengah empat! Kau belum shalat Isya!” (Hal. 15).

Suatu saat aku pulang kehujanan dan hari sudah petang. Aku merasa tubuhku benar-benar lemas (Hal. 24).

Aku terbangun jam enam pagi. Badan telah segar. Tapi ada penyesalan mendalam dalam hati : aku belum shalat Isya dan terlambat shalat Shubuh (Hal. 25).

Latar tempat pada novel ini yaitu terdapat di beberapa tempat, di antaranya tempat pernikahan (pelaminan), rumah kontarakan, rumah mertua, dan kuburan.

Tepat dua bulan setelah pernikahan, kubawa Raihana ke rumah kontrakan di pinggir Kota Malang. Mulailah nyanyian hampa mencekam (Hal. 5).

Ibu mertuaku mengajakku ke sebuah gundukan tanah masih baru di kuburan yang letaknya di pinggir desa. Di atas gundukan itu ada dua batu nisan.i (Hal. 45)

Latar suasana yang dibangun dalam novel ini, yaitu suasana haru, jengkel, marah, dan lain-lain.

Dan dengan mata berkaca-kaca Raihana diam, menunduk, tak lama kemudian ia menangis terisak-isak sambil memeluk kedua kakiku (Hal. 9).

Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu, dan penyesalan yang luar biasa. Aku menangis tersedu-sedu, memanggil-manggil nama Raihana seperti orang gila. Sukmaku menjerit-jerit, mengiba-iba. Aku ingin Raihana hidup kembali (Hal. 45)

4. Penokohan

Tokoh cerita, menurut Abram adalah orang-orang yang ditampilkan dalam satu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Sementara itu, penokohan menurut Jones adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah karya sastra.

Dalam novel ini tokoh sentralnya adalah ‘aku’ dan Raihana.

Tokoh-tokoh lainnya (figuran) yaitu :

  • Ibu,

  • Aida (adik ‘aku’),

  • Tante Lia, mertua,

  • Pak Qalyubi,

  • dan lain-lain

a. ‘Aku’

Tokoh ‘aku’ ini berwatak penghayal, acuh pada istri, namun pada dasarnya ia setia karena tak ada niat untuk mencari wanita lain.

Beliau memaksaku untuk menikah dengan gadis itu. Gadis yang sama sekali tak ku kenal. Sedihnya, aku tiada berdaya sama sekali untuk melawannya. Aku tak punya kekuatan apa-apa untuk memberontaknya. Sebab setelah ayah tiada, bagiku ibu adalah segalanya (Hal. 1).

Apakah mungkin karena aku telah begitu hanyut dengan citra gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra yang tinggi semampai? Yang berwajah putih jelita dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir merah halus menawan (Hal. 3).

Aku tak bisa iba sama sekali padanya. Kata-katanya terasa bagaiakan ocehan penjual jamu yang tidak kusuka (Hal. 10).

Namun dalam hati, aku mengancam, meskipun tidak cinta kalau sampai Raihana selingkuh dia akan aku bunuh! Akan aku bunuh! ... Sebab sekonyol apapun keadaan yang aku alami, aku sama sekali tidak mau sedikit pun berpikir untuk mengkhianati dia (Hal. 28).

b. Raihana

Tokoh utama lainnya adalah Raihana. Raihana adalah istri ‘aku’ yang sehari-harinya mendapatkan perasaan acuh tak acuh dari suaminya. Sebagai wanita berlatar belakng Jawa, ia berwatak lemah lembut, penurut pada suami, pintar, dan shalehah. Perwatakannya digambarkan melalui dialog dan gambaran tokoh lainnya.

Mbak Raihana itu orangnya baik kok, Kak. Dia ramah, halus budi, sarjana pendidikan, penyabar, berjilbab, dan hafal Al-Quran lagi. Pokoknya cocokmdeh buat kakak,” komentar adikku, si Aida tentang calon istriku (Hal. 2).

5. Sudut Pandang

Menurut Stanton, sudut pandang bisa diartikan posisi yang merupakan dasar berpijak kita untuk melihat peristiwa dalam cerita.

Sudut pandang merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam suatu karya fiksi kepada pembaca (Abrams via Nugiantoro)

Sudut pandang dalam novel ini, yaitu sudut pandang orang pertama (Aku). Tokoh ‘aku’ yang menguasai jalannya cerita.

Kulihat Raihana tersenyum manis, tapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta-ronta. Aku benar-benar merana satu-satunya, harapanku hanyalah berkah dari Tuhan atas baktiku pada ibu yang amat kucintai. (Hal. 5).


C. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik antara lain riwayat hidup pengarang dan kehidupan masyarakat tempat karya sastra diciptakan. Termasuk unsur ekstrinsik adalah tingkat pendidikan, paham, agama, kepercayaan, profesi dan hobi, kondisi ekonomi, jenis kelamin pengarang, kondisi sosial politik, dan lain sebagainya.


1. RIwayat Hidup Pengarang

Habiburrahman el-Shirazy (lahir di Semarang, Jawa Tengah, Kamis, 30 September 1976) adalah sarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir dikenal sebagai dai, novelis, penyair, dan suami dari Muyasaratun Sa’idah. Memulai pendidikan menengahnya di MTs Futuhiyyah 1 Mranggen sambil belajar kitab kuning di Pondok Pesantren Al Anwar, Mranggen, Demak di bawah asuhan K.H. Abdul Bashir Hamzah. Pada tahun 1992 ia merantau ke kota budaya Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Surakarta, lulus pada tahun 1995. Setelah itu melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadist Universitas Al-Azhar, Kairo dan selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2001 lulus Postgraduate Diploma (Pg.D) S2 di The Institute for Islamic Studies di Kairo yang didirikan oleh Imam Al-Baiquri.

Selama di Kairo, ia telah menghasilkan beberapa naskah drama dan menyutradarainya, di antaranya: Wa Islama (1999), Sang Kyai dan Sang Durjana (gubahan atas karya Dr. Yusuf Qardhawi yang berjudul ‘Alim Wa Thaghiyyah, 2000), Darah Syuhada (2000). Tulisannya berjudul, Membaca Insanniyah al Islam dimuat dalam buku Wacana Islam Universal (diterbitkan oleh Kelompok Kajian MISYKATI Kairo, 1998). Berkesempatan menjadi Ketua TIM Kodifikasi dan Editor Antologi Puisi Negeri Seribu Menara Nafas Peradaban (diterbitkan oleh ICMI Orsat Kairo)

Beberapa karya terjemahan yang telah ia hasilkan seperti Ar-Rasul (GIP, 2001), Biografi Umar bin Abdul Aziz (GIP, 2002), Menyucikan Jiwa (GIP, 2005), Rihlah ilallah (Era Intermedia, 2004), dll. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi Ketika Duka Tersenyum (FBA, 2001), Merah di Jenin (FBA, 2002), Ketika Cinta Menemukanmu (GIP, 2004), dll.

Beberapa karya terjemahan yang telah ia hasilkan seperti Ar-Rasul (GIP, 2001), Biografi Umar bin Abdul Aziz (GIP, 2002), Menyucikan Jiwa (GIP, 2005), Rihlah ilallah (Era Intermedia, 2004), dll. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi Ketika Duka Tersenyum (FBA, 2001), Merah di Jenin (FBA, 2002), Ketika Cinta Menemukanmu (GIP, 2004), dll.

Karya-karyanya banyak diminati tak hanya di Indonesia, tapi juga negara-negara tetangga seperti Malaysia, SIngapura dan Brunei. Karya-karya fiksinya dinilai dapat membangun jiwa dan menumbuhkan semangat berprestasi pembaca. Diantara karya-karyanya yang telah beredar dipasaran adalah Ayat-Ayat Cinta (telah dibuat versi filmnya, 2004), Di Atas Sajadah Cinta (telah disinetronkan Trans TV, 2004), Ketika Cinta Berbuah Surga (2005), Pudarnya Pesona Cleopatra (2005), Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007), Ketika Cinta Bertasbih 2 (Desember, 2007) dan Dalam Mihrab Cinta (2007). Kini sedang merampungkan Langit Makkah Berwarna Merah, Bidadari Bermata Bening, dan Bulan Madu di Yerussalem.

2. Latar belakang pendidikan dan agama

Habiburahman El-Shirazy yang merupakan sarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir yang juga dikenal sebagai dai banyak memasukkan unsur-unsur agama dalam setiap karyanya. Termasuk didalam novel “Pudarnya Pesona Cleopatra”. Selain itu, pengalaman hidupnya di Mesir, ikut membangun munculnya sebuah cerita dimana sang tokoh utama terlalu terlena dengan kecantikan gadis Mesir yang parasnya sangat indah.

Sleeping Beauty


Once upon a time there was a Queen who had a beautiful baby daughter. She asked all the fairies in the kingdom to the christening, but unfortunately forgot to invite one of them, who was a bit of a witch as well. She came anyway, but as she passed the baby's cradle, she said:

"When you are sixteen, you will injure yourself with a spindle and die!"

"Oh, no!" screamed the Queen in horror. A good fairy quickly chanted a magic spell to change the curse. When she hurt herself, the girl would fall into a very deep sleep instead of dying.

The years went by, the little Princess grew and became the most beautiful girl in the whole kingdom. Her mother was always very careful to keep her away from spindles, but the Princess, on her sixteenth birthday, as she wandered through the castle, came into a room where an old servant was spinning.

"What are you doing?" she asked the servant.

"I'm spinning. Haven't you seen a spindle before?"

"No. Let me see it!" The servant handed the girl the spindle ... and she pricked herself with it and. with a sigh, dropped to the floor.

The terrified old woman hurried to tell the Queen. Beside herself with anguish, the Queen did her best to awaken her daughter but in vain. The court doctors and wizards were called, but there was nothing they could do. The girl could not be wakened from her deep sleep. The good fairy who managed to avoid the worst of the curse came too, and the Queen said to her,

"When will my daughter waken?"

"I don't know," the fairy admitted sadly.

"In a year's time, ten years or twenty?" the Queen went on.

"Maybe in a hundred years' time. Who knows?" said the fairy.

"Oh! What would make her waken?" asked the Queen weeplng.

"Love," replied the fairy. "If a man of pure heart were to fall in love with her, that would bring her back to life!"

"How can a man fall in love with a sleeping girl?" sobbed the Queen, and so heart-broken was she that, a few days later, she died. The sleeping Princess was taken to her room and laid on the bed surrounded by garlands of flowers. She was so beautiful, with a sweet face, not like those of the dead, but pink like those who are sleeping peacefully. The good fairy said to herself,

"When she wakens, who is she going to see around her? Strange faces and people she doesn't know? I can never let that happen. It would be too painful for this unfortunate girl."

So the fairy cast a spell; and everyone that lived in the castle - soldiers, ministers, guards, servants, ladies, pages, cooks, maids and knights - all fell into a deep sleep, wherever they were at that very moment.

"Now," thought the fairy, "when the Princess wakes up, they too will awaken, and life will go on from there." And she left the castle, now wrapped in silence. Not a sound was to be heard, nothing moved except for the clocks, but when they too ran down, they stopped, and time stopped with them. Not even the faintest rustle was to be heard, only the wind whistling round the turrets, not a single voice, only the cry of birds.

The years sped past. In the castle grounds, the trees grew tall. The bushes became thick and straggling, the grass invaded the courtyards and the creepers spread up the walls. In a hundred years, a dense forest grew up.

Now, it so happened that a Prince arrived in these parts. He was the son of a king in a country close by. Young, handsome and melancholy, he sought in solitude everything he could not find in the company of other men: serenity, sincerity and purity. Wandering on his trusty steed he arrived, one day, at the dark forest. Being adventurous, he decided to explore it. He made his way through slowly and with a struggle, for the trees and bushes grew in a thick tangle. A few hours later, now losing heart, he was about to turn his horse and go back when he thought he could see something through the trees . . . He pushed back the branches . . . Wonder of wonders! There in front of him stood a castle with high towers. The young man stood stock still in amazement,

"I wonder who this castle belongs to?" he thought.

The young Prince rode on towards the castle. The drawbridge was down and, holding his horse by the reins, he crossed over it. Immediately he saw the inhabitants draped all over the steps, the halls and courtyards, and said to himself,

"Good heavens! They're dead!" But in a moment, he realised that they were sound asleep. "Wake up! Wake up!" he shouted, but nobody moved. Still thoroughly astonished, he went into the castle and again discovered more people, lying fast asleep on the floor. As though led by a hand in the complete silence, the Prince finally reached the room where the beautiful Princess lay fast asleep. For a long time he stood gazing at her face, so full of serenity, so peaceful, lovely and pure, and he felt spring to his heart that love he had always been searching for and never found. Overcome by emotion, he went close, lifted the girl's little white hand and gently kissed it . . .

At that kiss, the prlncess qulckly opened her eyes, and wakening from her long long sleep, seeing the Prince beside her, murmured:

"Oh, you have come at last! I was waiting for you in my dream. I've waited so long!"

Just then, the spell was broken. The Princess rose to her feet, holding out her hand to the Prince. And the whole castle woke up too. Everybody rose to their feet and they all stared round in amazement, wondering what had happened. When they finally realised, they rushed to the Princess, more beautiful and happier then ever.

A few days later, the castle that only a short time before had lain in silence, now rang with the sound of singing, music and happy laughter at the great party given in honour of the Prince and Princess, who were getting married. They lived happily ever after, as they always do in fairy tales, not quite so often, however, in real life.